VI
Tiga Menit
Tiga Menit
Hari ini pengulangan. Ya, akhirnya dari segala jenis bentuk kekesalan Tari, dengan semua perjolakan dari kelompoknya, kelompok mereka harus mengulang minggu depan. Ya paling membuat Tari benar-benar tak habis pikir,
hari itu, saat mereka selesai mendengar pengumuman nilai mereka yang harus mengulang, Dion tak ada. Di tengah anggota kelompok lainnya yang menangis di balik backdrop, dia hilang. Dia pergi entah kemana.
Awalnya, ya hanya awalnya Tari menganggap Dion benar-benar keterlaluan. Sialnya, Awan memberitahunya sesuatu yang membuatnya melunturkan keletihannya pada sikap Dion. "Tadi, dia bilang waktu kita mau pinjem mobil Lita, dia bilang jangan dulu. Kasihan, mereka pasti lagi nge-down." Tersentuh? Ya, rasanya hal itu lebih benar sekarang.
Satu minggu sebelum hari ini, Tari mencoba bersikap biasa. Toh, dia dan Dion dianggap lulus dan hanya membantu seadanya Lita, Tika, dan Tata. Jadi, intensitas Tari menemui Dion tak sekstrim kemarin-kemarin. Tari hanya ingin mengontrol emosinya sendiri. Entah tentang perasaannya sendiri, ataupun tentang amarahnya pula.
Selesai hari itu, Tari menambah daftar umpatannya untuk Dion. Sikapnya berubah! Manis! Manis sekali! "Kenapa sih sama si labil itu?!" dengus Tari seminggu setelah penampilan mengulang mereka. Awan yang ada di sampingnya hanya meliriknya. Dia tahu, Tari hanya bergumam. Terlebih, ia tak ingin memancing Tari soal Dion dan semua yang berbau dengan satu nama yang ada di pikiran Tari saat ini. Cukup tahu, saja, begitu pikirnya.
***
Tak ada siapa-siapa di sekretariat. "Huft! Untung gue bawa kunci," desah Tari lega. Menaiki satu per satu anak tangga di depan pintu sekretariat himanya. Tapi ia urung masuk. Ia lebih memilih duduk di pintu masuk. Kepalanya nyut-nyutan melihat sekretariat yang bentuknya mengalahi gudang di rumahnya. Dia diam, meski sebenarnya hatinya mengumpat-umpat tak karuan. "Kenapa sih ini sekret udah kayak kandang kebo!" mungkin dia menunggu seseorang datang untuk ia semprot.
Tak masalah kalau yang datang Juli, atau Roni. Dia akan dengan sepenuh hati mengomel seperti biasanta. Tapi, duh! Sialnya bener-bener duh! Yang datang Dion. Dion dengan segala kediamannya yang membuat Tari menelan keras-keras keinginannya untuk berteriak. Tari memilih diam. Hanya sebatas menjawab pertanyaan Dion di awal datang, "Sendirian, L?" tak ada lagi. Yang dilakukannya hanya bermain game di laptopnya. Tak lebih. Bergumam pun hanya beberapa kali. Kala ia mencoba melirik Dion, orang itu hilang. Tari sempat mencari-carinya. Dan sialnya, dia mendongkol. Ternyata makhluk itu sedang telponan dengan seseorang di sekretariat.
"Siapa, ya?" tanya Tari tanpa sadar. Ia tersentak. "Eh! Emang apa urusan gue?" ia mengingatkan dirinya sendiri. Tar, elo bukan siapa-siapa! Bukan siapa-siapa!"
Sekitar jam 3-an, orang-orang yang biasanya ada di sekretariat datang. Sebangsa Juli, Roni, Firda, dan Tia. Ada Awan juga. Sampai cukup malam mereka ada di sana karena terjebak hujan.
"Deres banget ujannya. Shalat di sini aja kali, ya?" saran Dion pada teman-temannya.
"Ya udah. Yok, wudhu!" tanggap Awan. Firda dan Tia menyambut dengan cukup senang. Tari? Tentu saja. Terlebih, yang menjadi imamnya adalah Dion sendiri. Baru kali pertama itu mereka, orang-orang terdekat Tari, yang walaupun tak selalu tahu bagaimana suasana hati Tari, shalat bersama. Ada baiknya juga hujan lebat ini mengguyur.
"Ya, Allah.. apakah ini saatnya aku mengharap?" hati Tari bergumam selesai shalat. Entah karena apa. Mungkin karena sikap manis Dion akhir-akhir ini. Atau, karena mendengar bacaan shalatnya tadi. Entahlah. Yang jelas, Tari masih ragu untuk menggantungkan kata berharap di hatinya.
Selesai shalat, mereka bercanda seperti biasa. Sembari menunggu hujan reda. Awan asik dengan keyboard yang ada di sada. Sedangkan Juli dan Amad sibuk bermain catur. Roni dan Firda saling bercanda, dan Dion serta Tia kadang-kadang ikut nimbrung dengan si pemain catur yang sok pro-pro itu.
Sedangkan, Tari hanya bolak-balik tak penting. Ia memilih duduk di samping Tia. Tepatnya agak di belakang Dion. Tak apa. Ia tak sekesal saat ia hanya ditinggal berdua saja dengan Dion. Tak masalah dengan jarak sedekat ini. Toh, baru tiga menit yang lalu dia menimbang-nimbang, untuk memasukkan kata berharap atau tidak untuk Dion.
Bosan, Tari berdiri. Bermaksud menghampiri Firda yang ada di belakang dengan Roni. Tapi, saat itu juga ia menyesal. Ia tak sengaja melihat isi pesan yang ditulis Dion saat sedang membalas sms. Hatinya runtuh. Ia ingin tak percaya, tapi sayangnya sikap Dion yang langsung menyembunyikan ponselnya menggamblangkan semuanya.
Tari tak jadi ke belakang. Ia memilih ke samping sekret. Mengulurkan tangannya di bawah rintik hujan. Isi pesan itu terngiang lagi di balik rinai-rinai dingin ini. Ya sabar lo, Sayang.
"Sayang?" andai gumaman itu terdengar, mungkin akan lebih mirip sebagai rintihan.
"Hh!" ia tertawa sendiri. "Baru tiga menit, ya?" tanyanya konyol pada dirinya sendiri.
~To Be Continued~
No comments:
Post a Comment