Pages

Sunday 9 October 2016

L

IV
Hujan



"Sial, sial! Sial, sial!" rutuk Tari berkai-kali. Habis sudah kertas bindernya diremat habis-habis. "Sial! Si sialan itu! Si sialan itu!" sumpah! Dia kesal setengah mampus. Tak ada yang menyadarinya. Tentu juga dengan ketiga temannya itu. Tak ada yang memperhatikannya. Sungguh! Tak ada yang peduli.


Padahal Tari sudah bermaksud menghindar. Disudahi saja, pikirnya. Ia ingin  mengakhiri rasa apapun yang menggelayut terlalu memaksa di benaknya. Menghindari Dion untuk beberapa hari, niatnya. Mencegah percakapan seprivasi apapun dengannya, inginnya. Tapi kali ini, apa? Dia malah satu kelompok dengannya di mata kuliah Pertunjukkan! Dan tentu saja ia harus bertemu dengan bocah satu itu tiga kali lebih banyak, ketimbang di kelas dan hima. Melainkan waktu-waktu sisanya pasti untuk latihan. Sialnya, sial! Kenapa ia harus satu kelompok? Tak jengah-jengah ia mengumpati situasi.

"Kenapa sih, elo?!" tiba-tiba jaket tebal mendarat di kepalanya. Loh, ini jaketnya, kan? Tari mendongak dan mendapati Awan sudah duduk di sampingnya. Wajahnya penasaran, apa yang sejak tadi diracaukan Tari dengan kesalnya.

"Ini? Kenapa jaket ini di elo?" tanyanya ketus, seperti biasa. Sambil ditunjuk-tunjuknya jaketnya itu dengan telunjuknya.

"Siapa kemaren yang ninggalin di motor?" Awan malah bertanya balik. Ah, Tari ingat sekarang. Kemarin, setelah menangis dalam diam, karena perlakuan Dion yang semena-mena, seperti biasa, Awan mengajaknya pulang. Ditinggal hima, ditinggal juga kerja kelompoknya. Dia terlanjur dongkol, karena sikap angkuh dan kakunya si Dion. Awan yang jadi obatnya. Walau Tari sama sekali tak mengharapnya. Jadi begitu ceritanya bagaimana jaket ini bisa di Awan?

"Heh, ya? Elo kenapa, sih?!" pertanyaan Awan masih mengambang. Tari hanya menggeleng lemah. Dia tak ingin cerita pada siapapun. Tak ingin. Ia masih ingin diam. Walau rasanya sungguh sesak. Sebaliknya, Awan sendiri tak ingin memaksanya bicara. Tanpa diberitahu pun, Awan jelas tahu apa yang sedang dipikirkan bocah ini. Siapa lagi kalau bukan soal Dion?

"Hari ini latihan pertama elo, kan?" tanya Awan, walau sebenarnya dia sudah tahu.

"Kenapa emang?" Tari menoleh ke arahnya. Ekspresinya menyelidik. Sampai berhasil membuat Awan garuk-garuk pipi.

"Enggak.... em... semangat, deh!" Awan harap kata-katanya bisa membuat Tari tersenyum. Tapi yang ia dapat malah tamparan keras binder di mukanya. "Sakit, L! Ya, ampun! Sakit!" rintihnya. Mencoba bersikap romantis malah salah. Mungkin Tari tak ingin Awan menunjukkan rasa sayangnya. Atau mungkin Tari sudah tak membutuhkannya lagi. Hiks... nyesek juga jadinya. Tapi tak apalah. Awan sudah bertekad menyayanginya. Itu saja.

Selesai kelas, seperti kata Awan tadi, Tari dan keempat teman lainnya, yang di dalamnya itu ada si Dionnya, mencari tempat yang agak luas di sekitaran Fakultasnya. Latihan pertama, dengan pelatihnya. Awalnya Tari ingin bersikap biasa saja. Tapi ia tak bisa. Bagaimana tidak? Kelakuan Dion makin menjadi-jadi saja. Tiap Tari bertanya, ia selalu dibentak. Tiap Tari mengajak bercanda, Dion malah melengus. Biasa memang. Tapi, yang membuat mulut Tari tak pegal-pegalnya merengut adalah cara Dion bersikap pada Tata, Tika, dan Lita berbeda seratus delapan puluh derajat! Kenapa Dion mau tertawa dengan mereka, sedang dengan Tari tidak?! Hah! Tari membekap teriakannya di dalam dada rapat-rapat.

Awalnya Tari pikir itu hanya akan terjadi di hari pertama saja. Mungkin Dion capek, mungkin Dion sedang banyak pikiran. Tapi, empat hari latihan, sikap Dion tak kunjung berubah. Malah acuh. Lirih, ia sempat mendengar kata-kata Dion, "Gue enggak suka nari. Pengen berhenti aja rasanya." Apa saja rasanya ingin Tari lemparkan ke muka Dion. Tapi tentu saja itu hanya ia pendam, lagi dan lagi. Mana berani dia bersikap selayaknya ia menyikapi kelakuan Awan selama ini? Yang ada sikap kaku dan kasar Dion akan kembali! Huh! Menyebalkan!

"Hari ini kita latihan lo, Di," ujar Tari selesai acara hima mereka hari itu. Dion yang sedang sibuk memberesi ini itu tak memandang ke arahnya sama sekali. Tempramen Tari yang memang dengan bodohnya malah memebntak si kaku Dion, "Dion! Denger enggak, sih?!"

"Gue enggak bisa. Hari ini gue ada apel!" jawab Dion tak kalah ketus. Tanpa melirik sedikit pun perubahan ekspresi Tari, ia keluar dari aula. Sekali lagi, Tari menelannya sendiri. Tia, Firda, keduanya tak tahu. Tari mencoba memberi tahu mereka sakit hatinya, tapi tak berhasil. Mereka berdua tak acuh sama sekali.

"Kenapa..." pertanyaan apapun, menggantung sendiri di urat lehernya.

"L! Ayok latihan!" setengah jam Tari sendirian di aula, tiba-tiba Tata masuk. Entah darimana bocah itu datang. Padahal ia bukan anggota hima seperti dirinya. "Ayok! Kita latihan, kan?" ulang Tata.

Dengan lemas Tari berdiri. "Latihan, ya?" tanyanya.

"Iya, ay..." Tata tak jadi melanjutkan ajakannya. Lantaran tiba-tiba Tari menangis sesenggukan. "Eh, eh! Elo kenapa, lo? Kok nangis tiba-tiba?" Tata kelimpungan. Tari sendiri tak sadar air mata itu mengalir begitu saja. Dadanya sesak, sakit bukan main. Terlebih melihat Dion yang tiba-tiba sudah masuk kembali ke aula.

"Enggak papa, kok..." ujarnya bohong. Dia tak ingin Dion melihatnya menangis. Meski ia sendiri tahu, apa memang pengaruhnya kalau Dion melihatnya menangis?

"Ayok!" tiba-tiba Dion sudah berganti pakaian. Tampilan seperti biasa saat mereka latihan. "Kenapa tiba-tiba Dion mau latihan? Apa karena Tata udah dateng baru dia mau latihan? Jadi dia baru mau latihan kalau bukan gue yang ngajakin, ya?" pikir Tari nelangsa.

Akhirnya sambil menyeka sisa-sisa air matanya, Tari menguatkan hatinya. Biarlah dulu. Yang penting Dion mau latihan. Walaupun hanya bertiga, paling tidak, mereka bisa menghapal gerakan-gerakan baru mereka.

Selesai latihan, Dion yang pertama kali meninggalkan aula. Tata pun kemudian pamit pergi. Lagi-lagi Tari sendirian. Dipungutinya barang-barangnya. Dimasukkannya ke dalam tas. "Pulang... pulang..." cercanya bersikap bahagia. Tapi, melewati tangga, tiba-tiba kepalanya terasa pusing. Langkahnya lambat-lambat terasa ringan. Sampai di anak tangga terakhir, dia benar-benar tak melihat apapun.

***
"Selamat pagi, L!" sebuah senyum manis menyapa penglihatan Tari pertama kali. Siapa...

"Ya, ampun!" buak! Reflek, tangan Tari menghalau wajah di depannya. Atau lebih tepatnya, itu adalah sebuah tamparan.

"Sekali aja, enggak bisa tah elo enggak nampar gue, L?" keluh Awan nelangsa. Tari bangun dan merasakan nyut-nyut di kepalanya.

"Ngapain elo di sini?" tanyanya.

"Seharusnya gue yang nanya. Ngapain elo pingsan di sini nyampe pagi begini?"

"Hah? Gue pingsan?!" Tari seolah tak percaya. Tapi, melihat anggukan polos dari Awan, dia akhirnya percaya. Terlebih melihat kostum Awan masih sama seperti kemarin. "Jadi... Awan yang nungguin gue di sini."

"Em... ya gimana, ya? Gue mau bawa elo ke kosan elo, udah malem banget. Kalo gue bawa elo ke rumah gue, nanti gue diamuk sama bokap gue..." ujar Awan, seolah paham apa yang ada di pikiran Tari. Tari sendiri baru sadar, kalau jaket nya plus jaket Awan sendiri sudah menyelimuti tubuhnya.

"Hiks... hiks..." tiba-tiba air matanya turun. Dadanya sesak lagi. Ia sesenggukan, tanpa perintah dari dirinya sendiri. Awan tak sepanik Tata kemarin. Awan hanya diam. Membiarkan Tari puas dengan tangisnya.

"Ah... hujannya deres banget, ya? Jadi basah kuyup, deh," kata Awan. Ini tidak hujan. Bahkan cahaya mentari lamat-lamat menyentuh kulit keduanya.

~To be continued~

No comments:

Post a Comment