PENYEBAB ALIH KODE DAN CAMPUR KODE IMIGRAN SUNDA KE DAERAH DENGAN BAHASA UTAMA BAHASA JAWA
Oleh:
Ulfa Mia Lestari (1413041075)
Dosen Pengampu:
Dr. Eko Nurlaksana Rusminto, M. Pd.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah matakuliah Sosiolinguistik dengan baik dan tepat waktu.
Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Sosiolinguistik semester ganjil tahun ajaran 2015-2016. Adapun topik yang penulis bahas adalah “Penyebab Alih Kode dan Campur Kode Transimgran Sunda ke Daerah dengan Bahasa Utama Bahasa Jawa”. Di dalam makalah ini membahas penyebab seorang transmigran Sunda melakukan alih kode dan campur kode.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, hal ini karena keterbatasan yang ada pada penulis. Sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Bandarlampung, Januari 2016
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 2
1.3 Tujuan.................................................................................................... 2
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 2
1.3 Tujuan.................................................................................................... 2
Bab II Kajian Teori
2.1 Alih Kode.............................................................................................. 3
2.2 Campur Kode......................................................................................... 4
2.1 Alih Kode.............................................................................................. 3
2.2 Campur Kode......................................................................................... 4
Bab III Metode Penelitian.................................................................................. 5
Bab IV Hasil dan Pembahasan
4.1 Alih Kode.............................................................................................. 6
4.2 Campur Kode......................................................................................... 8
4.1 Alih Kode.............................................................................................. 6
4.2 Campur Kode......................................................................................... 8
Bab V Penutup
5. 1 Kesimpulan........................................................................................... 10
5.2 Saran...................................................................................................... 10
5. 1 Kesimpulan........................................................................................... 10
5.2 Saran...................................................................................................... 10
Daftar Isi............................................................................................................. 11
Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penduduk Indonesia adalah penduduk dengan variasi bahasa yang beragam. Keragaman bahasa ini bukan hanya terbatas pada daerah tertentu saja. Misal, bahasa Jawa ada di daerah Jawa, dan bahasa Bali ada di daerah Bali saja. Adanya transmigrasi mengakibatkan penduduknya dengan bahasa ibu masing-masing juga berpindah tempat. Sehingga seringkali dalam satu daerah ditemukan sekumpulan penduduk dengan bahasa yang berbeda-beda pula.
Masyarakat di suatu daerah dengan bahasa yang beragam akan menggunakan satu bahasa saja sebagai sarana komunikasinya. Misalnya, daerah dengan mayoritas masyarakat bahasa Jawa akan menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi utamanya. Meskipun ada beberapa penduduk yang dapat berkomunikasi dengan bahasa lain, seperti bahasa Sunda, bahasa Bali ataupun bahasa Indonesia. Sehingga, masyarakat yang baru saja bertransmigrasi ke daerah tersebut harus mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa.
Namun, pemerolehan bahasa yang secara cepat dan didasarkan atas kebutuhan berkomunikasi saja menyebabkan sering terjadi alih kode dan campur kode dari penuturnya. Terlebih, jika si penutur masih kental dengan bahasa aslinya. Maka, agar sama-sama dapat berkomunikasi dengan baik, alih kode dan campur kode seringkali dilakukan.
Untuk itulah penelitian ini dilakukan. Peneliti melakukan sebuah pengamatan selama tiga bulan pada seseorang bersuku Sunda yang bertransmigrasi ke daerah dengan mayoritas suku Jawa, dengan bahasa utama di tempat itu adalah bahasa Jawa. Peneliti bermaksud mencari penyebab objek tersebut melakukan alih kode dan campur kode.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Apa saja penyebab objek melakukan alih kode?
2. Apa saja penyebab objek melakukan campur kode?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui penyebab objek melakukan alih kode.
2. Mengetahui penyebab objek melakukan campur kode.
BAB II
KAJIAN TEORI
KAJIAN TEORI
2.1 Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Appel (1979: 79) mendifinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Hymes (1875: 103) mengemukakan bahwa alih kode bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam suatu bahasa. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa.
Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi.
Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu 1) alih kode ekstern, dan 2) alih kode intern.
Menurut Widjajakusumah (1981) terjadinya alih kode adalah karena 1) kehadiran orang ketiga; 2) perpindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis; 3) beralihnya suasana bicara; 4) ingin dianggap “terpelajar”; 5) ingin menjauhkan jarak; 6) menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus; 7) mengutip pembicaraan orang lain; 8) terpengaruh mitra tutur yang menggunakan bahasa tersebut; 9) mitra berbicaranya lebih mudah; 10) berada di tempat umum; 11) menunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa yang digunakan sebelumnya; dan 12) beralih media/sara bicara.
2.2 Campur Kode
Nababan (1984: 32) berpendapat bahwa seseorang dikatakan melakukan campur kode bilamana dia mencampurkan bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa adanya sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa. Kachru (dalam Suwito, 1985: 76) memberi batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten. Sementara itu, Kridalaksana (1984: 32) mengatakan ada dua pengertian campur kode. Pertama, campur kode diartikan sebagai interferensi, sedang pengertian kedua campur kode diartikan sebagai penggunaan satu bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas haya bahasa atau raham bahasa, termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom dan sapaan.
Thealander (dalam Chaer, 1995: 151) mengatakan bahwa campur kode terjadi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri atas klausa dan frase campuran dan masing-masing klausa, frase tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri. Campur kode menurut Suwito (1985: 75) merupakan aspek saling ketergantungan bahasa, yang ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan.
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, dan rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada kertepaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi.
BAB III
METODE PENELITIAN
METODE PENELITIAN
Metode adalah suatu cara atau langkah yang harus diikuti untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam suatu kegiatan. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung saat ini atau saat yang lampau.
Peneliti melakukan pengamatan pada seorang wanita bersuku Sunda yang bertransmigrasi ke daerah dengan mayoritas penduduk suku Jawa dengan bahasa utama bahasa Jawa. Suami dari objek ini adalah seorang berdarah campuran Betawi dan Palembang yang menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-harinya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan yang peneliti lakukan, peneliti mendapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut.
4.1 Alih Kode
Objek merupakan suku Sunda yang menikah dengan seorang lelaki yang berdarah Betawi dan Palembang. Sedangkan, dalam komunikasi sehari-hari, suaminya lebih sering menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Betawi ataupun Palembang. Agar dapat berkomunikasi dengan baik dengan suaminya, maka objek juga menggunakan bahasa Indonesia.
Setelah mereka bermigrasi ke daerah dengan mayoritas suku Jawa, objek lebih sering menggunakan bahasa Jawa daripada bahasa Indonesia. Terlebih, suaminya sangat jarang pulang ke rumah. Suaminya hanya pulang setiap tiga bulan sekali, itu pun jika mendapat libur dari tempatnya bekerja.
Saat suaminya pulang dan berinteraksi dengan penduduk sekitar, objek melakukan alih kode, yaitu dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Saat berkumpul dengan penduduk lainnya, objek tetap menggunakan bahasa Jawa. Kemudian, saat ia harus melibatkan suaminya dalam komunikasinya maka ia menggantinya dengan bahasa Indonesia. Beberapa penduduk yang mengerti ketidakpahaman suami objek tentang bahasa Jawa juga sering mengganti bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Meskipun mereka akan kembali ke bahasa Jawa lagi untuk melanjutkan percakapan. Maka saat itu, suami objek terpaksa tidak banyak terlibat dalam percakapan itu. Contoh konkretnya adalah sebagai berikut.
N : Iki ki jarang balek. Nek balek paleng gor tiga bulan pisan. (Ini ni jarang pulang. Kalau pulang mungkin hanya tiga bulan sekali).
P : Yo rapopo. Wong golek duit akeh kan yo, Di? (Ya tidak apa-apa. Kan mencari uang yang banyak ya, Di?).
N : Kamu sering pergi kan buat nyari uang. (Bicara pada suaminya).
S : Oh, iya, Bu. Kalo enggak gitu ya gimana ngasih makan keluarga.
P : Tapi yo jangan keseringan ditinggal. Kasihan istrimu.
Berdasarkan kejadian tersebut, dapat dilihat bagaiamana objek melakukan alih kode pada suaminya. Kemudian, saat suami objek bermaskud menyampaikan maksudnya pada penduduk, ia tetap menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga, penduduklah yang melakukan alih kode.
Dari contoh tadi, peneliti menemukan beberapa penyebab objek dan beberapa penduduk lain melakukan alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.
Pertama, objek harus mengkomunikasikan sesuatu yang harus diketahui oleh suaminya yang hanya mengerti bahasa Indonesia. Meskipun objek sudah mampu berkomunikasi dengan bahasa Jawa, namun dalam kehidupan rumah tangganya, ia tetap menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga suaminya tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Jawa sepertinya. Satu-satunya bahasa yang bisa membuat suaminya mengerti adalah bahasa Indonesia, maka ia melakukan alih kode.
Kedua, suami objek tidak memiliki waktu cukup untuk mempelajari bahasa Jawa seperti objek. Sehingga, suami objek merasa tak perlu mempelajari bahasa Jawa. Maka dari itu, untuk mengetahui percakapan objek dengan penduduk lainnya, suami objek akan meminta objek melakukan alih kode.
Ketiga, penduduk sekitar memiliki interaksi terbatas dengan suami objek. Sehingga, penduduk sekitar lebih memilih melakukan alih kode dengan suami objek untuk menyampaikan hal-hal yang dirasa penting saja. Selebihnya, maka penduduk akan menyampaikannya pada objek, dan objek akan beralih kode ke bahasa Indonesia untuk menyampaikan maksud dari penduduk sekitar pada suaminya.
4.2 Campur Kode
Objek merupakan suku Sunda yang bermigrasi ke daerah yang mayoritasnya adalah suku Jawa. Komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat daerah tersebut adalah Bahasa Jawa. Mau tidak mau, maka Objek harus mampu berkomunikasi dengan Bahasa Jawa.
Selama enam bulan berada di daerah tersebut, Objek telah mampu berkomunikasi dengan penduduk sekitar. Namun, karena kekentalan suku asalnya yang belum hilang, maka logat yang digunakannya dalam berbahasa Jawa masih khas dengan logat Sunda. Seringkali objek pun melakukan campur kode saat berkomunikasi.
Misalnya, “Iki bocahe jalok jajan, atuh. (Ini anaknya minta jajan.)” Kata atuh yang biasanya diucapkan oleh suku Sunda ini masih sering ia ujarkan. Ia belum bisa berucap kata to yang biasanya diucapkan suku Jawa. Atau contoh lain, “Arep nandi lo, Teh? (Mau kemana lo, Kak?)” Kata Teh yang berarti “Kakak” ini selalu diucapkan objek sebagai pengganti mbak dalam bahasa Jawa. Hampir setiap orang yang lebih tua darinya dipanggilnya dengan kata Teh.
Campur kode yang dilakukan oleh objek ini tak terbatas dari bahasa Sunda ke bahasa Jawa saja. Ada juga campur kode antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia. Contoh, “Sesok aku melu nang rumahmu. (Besok aku ikut ke rumahmu.)” Kata rumah yang dimaksud di sini adalah omah dalam bahasa Jawa. Namun, objek cenderung menggunakan kata ini saat berkomunikasi. Contoh lainnya adalah campur kode antara bahasa Jawa kasar dengan bahasa Jawa halus, “Kulo boten ngerti, Mbah. (Saya tidak tahu, Nek.)” Kata ngerti adalah bahasa Jawa kasar. Seharusnya, bahasa Jawa halus yang benar adalah ngertos, yang dalam bahasa Indonesia berarti tahu.
Beberapa contoh campur kode yang dilakukan objek, peneliti mendapatkan beberapa penyebab campur kode ini terjadi.
Pertama, objek belum begitu menguasai bahasa Jawa. Sejatinya, objek pun masih dalam tahap pemerolehan bahasa Jawa. Meskipun demikian, orang-orang di sekitarnya masih dapat memahami maksud dari objek tersebut. Sehingga komunikasi masih dapat berjalan dengan baik.
Kedua, pemerolehan bahasa Jawa objek adalah bahasa Jawa kasar. Pemerolehan bahasa Jawa halus sangat minim sekali. Sehingga ketika ia terpaksa harus menggunakan bahasa Jawa halus pada orang-orang tua, maka campur kode antara bahasa Jawa halus dan Jawa kasar masih sering terjadi.
Ketiga, objek lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dalam rumah tangga. Sehingga, campur kode antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia lebih banyak terjadi daripada campur kode antara bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Meskipun logat yang sering diujarkan adalah logat Sunda.
Keempat, pemerolehan bahasa Jawa objek adalah karena kebutuhan komunikasi. Maka, objek secara cepat belajar bahasa Jawa. Dalam waktu singkat, objek tidak mampu menguasai seluruh kode dalam bahasa Jawa. Sehingga, bahasa Jawa yang dihasilkannya masih sering bercampur dengan bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia.
BAB V
PENUTUP
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Beberapa penjelasan pada bab sebelumnya, penulis menemukan beberapa kesimpulan mengenai penyebab transimgran Sunda tersebut melakukan alih kode dan campur kode.
Pertama, karena kebutuhan dalam berkomunikasi sehari-hari. Kedua, sebagai jembatan agar suaminya dapat berkomunikasi dengan baik dengan warga sekitar. Ketiga, belum sempurnanya bahasa Jawa yang ia kuasai. Keempat, sebagai sarana berinteraksi dengan suami dan warga sekitarnya.
5.2 Saran
Berdasarkan masalah tersebut, penulis memberikan beberapa saran. Pertama, transmigran lebih banyak berinteraksi dengan warga sekitar demi memperoleh bahasa Jawa lebih baik lagi. Kedua, transmigran membantu suaminya untuk mempelajari bahasa Jawa. Ketiga, transmigran mengajarkan keturunannya bahasa Sunda dan juga Bahasa Jawa, bukan hanya bahasa Indonesia saja. Hal ini dilakukan agar pemertahanan bahasa Sunda-nya tetap berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul &LeoniAgustina. 2010. Sosiolinguistik. Jakarta: RinekaCipta
Fathurahmah, dan Ida Zulaeha. 2011. Kode, Alih Kode, dan Campur Kode. Disusun untuk Disajikan dalam Diskusi Mata Kuliah Sosiolinguistik: Universitas Negeri Semarang
BIODATA OBJEK
Tempat Tanggal Lahir : Kotagajah, 9 September 1990
Alamat : Bangun rejo, Kecamatan Gunung Sugih
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
No comments:
Post a Comment