“Fiuh… capek!” Tari
membanting tubuhnya ke atas kasur kosnya kasar.
Kasur itu hanya muat untuk satu
tubuhnya yang tak begitu ramping. Gempal mungkin. Tapi tak terlalu gemuk pula.
Ah, begitulah. Yang jelas, yang ia lihat adalah atap putih kamar ini. Sedikit
berputar, hanya sekejap. Efek dari rasa lelahnya.
Sekarang sudah hampir
magrib. Menyapa kasur lebih dulu membuatnya mager untuk berdiri.
Membasuh tubuhnya yang sudah lengket dengan keringat ke kamar mandi. Ah… nyaman
sekali. Sudah empat hari dia tak bertemu dengan kamar sempit ini. Bau baju yang
belum sempat ia lipat, berantakan di dekatnya, membuatnya makin malas untuk
beranjak.
Tling! Ada pesan masuk. Nasib baik, ponselnya tak ia
lempar jauh-jauh dari dirinya tadi. Nama Dion terpampang jelas di layar. Kenapa,
ya? gumamanya seorang diri.
Jangan lupa
istirahat kawan-kawan! ^^
Hah? Lucu benar
rasanya seorang Dion mengiriminya pesan sepertinya. Tapi, jangan lupa kata kawan-kawan
di sana. Bukankah itu artinya Tari bukan satu-satunya orang yang dikirimi pesan
seperti itu? Ah… sudahlah. Tak ada niatan untuknya untuk terbang hanya karena
satu pesan singkat itu.
Empat hari ini ia
bersama dengan Dion, juga ketiga sahabatnya yang lain itu. Selama empat hari
itu, mereka menjajal hidup orang kaya, tinggal di hotel bintang 3 walaupun dua
kamar berlima belas! Meskipun begitu, Tari merasa beruntung. Untuk pertama
kalinya ia tinggal di hotel, dan itu adalah hotel kelas atas yang biaya sewanya
800 ribu per malam! Busyet! Tak pernah terpikir Tari akan menyewa hotel semahal
itu hanya untuk numpang tidur. Tapi, Tari dan kawan-kawannya ke sana
bukan untuk liburan. Melainkan untuk kerja. Mereka dengan paksa ditarik oleh
dosen untuk ikut andil dalam acara Konferensi Internasional Bahasa dan Seni.
Tanpa bisa menolak, mereka dijadikan panitia. Bergelut dengan macam-macam prosiding,
bertemu dengan orang-orang hebat yang terlalu hebat dalam mendebat, yang
kalau kata Roni setiap perlakuan mereka tak pernah berperikepanitian.
Lelah menyinggahi tulang-tulangnya. Huh… lenguh Tari lagi, sebelum
akhirnya bangkit. Mungkin jika badannya sudah basah dengan air, akan mengurangi
lelahnya.
Mungkin karena acara
itu, Tari lamat-lamat mulai menyadari perasaannya sendiri pada Dion. Ini sudah
lama. Rasanya, kecemburuannya pada Dion tidak biasa. Tapi ia tak serta merta
mendeklarasikan dirinya menyukai Dion. Tidak! Karena rasa suka yang pernah
terjadi padanya kepada laki-laki sebelum-sebelumnya tak pernah seperti ini. Ia hanya
menggaris bawahi beda saja kalau dekat-dekat dengan Dion. Apalagi
kalau melihat perlakuan Dion selalu saja beda pada dirinya. Lebih kasar, lebih
menyebalkan, dan lebih-lebih apa saja yang selalu membuatnya kesal. Ia dongkol,
dan ia tidak suka itu. Tiap dia hanya berdua saja dengan bocah itu, ia terlalu
canggung. Banyak pikirnya yang memilah-milah obrolan yang pas untuknya. Sebalnya,
Dion selalu banyak diamnya tiap bersamanya. Terpaksa kan dia yang harus mencari
bahan obrolan agar suasana tak sepi-sepi amat.
Lalu jika bukan suka,
ini rasa apa? Jujur, Tari sendiri tak begitu penasaran untuk mencarinya. Dibiarkannya
begitu saja mengalir. Kepada siapapun, dia juga belum sama sekali cerita. Karena
dirasanya tak terlalu penting. Sudah lama sebenarnya dia merasakan hal ini. Bahkan,
kalau ingatannya tak kepleset kemana-mana, saat dia menyukai teman satu
kelasnya, rasa beda terhadap Dion sudah ada. Entahlah. Hanya rasa beda
saja. Tari tak ingin lebih. Dan Tari pun tak pernah membayangkan hidupnya bisa
berpasangan dengan Dion. Bukan tak suka, hanya tak ingin. Itu saja.
Keluar dari kamar
mandi, ada pesan lagi masuk. Dari Dion lagi. Kali ini adalah pesan yang biasa
selalu diterima Tari. Pengumuman untuk rapat di hima. Agak kesal, Tari melempar
ponselnya. Badannya masih capek. Memikirkan besok pagi ada rapat sebelum jam
kuliahnya, membuat pikirnya penat.
Suara adzan
berkumandang, tepat setelah ia selesai mengenakan piyamanya. Setelah shalat,
dia menghidupkan laptopnya. Berlayang ke dunia maya, membuka akun sosmed
dan mendapati foto-foto yang terpampang di berandanya. Firda yang mengupload-nya.
Waw! Banyak sekali. Semuanya foto saat mereka di hotel beberapa hari itu. Semua
fotonya tanpa dirinya! Hanya ada Firda, Tia, dan… Dion. Huh… salahnya juga tak
pernah ikut bersama mereka saat mengambil jepretan itu. Memang dirinya tak
terlalu suka ber-selfie ria seperti mereka. Tapi, kalau dipikir lagi,
gambar-gambar itu entah kapan diambilnya, Tari sama sekali tak tahu. Sekali lagi,
hati Tari dongkol. Bahkan, saat bermalam bersama pun mereka seolah
mendiskriminasinya. Kapan mereka bertiga seperti itu, Tari tak tahu. Kesal,
Tari tak lagi melihatnya. Raut bahagia Dion di foto-foto itu membesarkan rasa
cemburunya.
Setelah mematikan
laptopnya, ia kembali membanting
tubuhnya di kasur. Kipas kecil di atas meja berputar-putar. Mengelus-elus
kepalanya manja. Ah… andai perasaanya bisa sesejuk kipas angin itu, ia pasti
akan sangat senang sekali. Cemburu saja sudah muak. Kenapa rasa dongkol ini
terus-terus saja menggerogotinya. Jika memang ia mulai menyukai Dion, kenapa
rasanya begitu menjengkelkan? Terlalu, ini sungguh keterlaluan!
~To be continued~
No comments:
Post a Comment