I
Namanya Tari. Panjangnya Lestari. Satu pun orang-orang di sekitarnya, kecuali orang tua dan kakaknya, tak ada yang memanggilnya dengan nama aslinya. Mereka semua lebih suka memanggilnya dengan sebutan L. Si penggila anime Death Note. Singkat, dan mudah disebutkan.
Tari bukan cewek-cewek yang baru saja meninggalkan masa remajanya bersama sepasang kekasih. Berkasih-kasih ria tiap malam minggu tiba. Dia hanya orang sederhana yang cuma tau pakai cream wajah saja sebagai make up tiap kali hengkang ke kampus. Parfumnya tak pernah sama. Selalu berubah-ubah. Bukan karena dia banyak botol parfum di atas meja belajarnya. Tapi, karena dia nebeng ke teman-teman kosnya semprot parfum sembarangan tiap pagi. Hal itu tak jadi masalah. Karena pada bab ini, kita akan mengulas bagaimana seorang L alias Tari menengguk rasa cemburu bukan pada cowok yang dicintai. Lebih dari rasa cemburunya pada hal apapun yang nangkring di sekitaran jalan yang ia temui.
Sore itu, angin berhembus cukup kuat di belakang sekretariat. Tari anak hima di kampus. Lebih sibuk ketimbang teman-teman yang kupu-kupu alias kuliah pulang-kuliah pulang. Apalagi dia ditunjuk sebagai Bendahara Umum di sana. Entahlah. Bagaimana dulu dia bisa ditunjuk seniornya. Mungkin karena pengalamannya menjadi Bendahara Pelaksana saat ada acara setengah besar yang diadakan himanya itu. Sudahlah. Lagipula, bukan itu yang akan dibahas, bukan? Ini soal siapa saja yang ada di belakang itu. Ada Tari, jelas. Ada ketiga sahabatnya plus satu orang yang kenal, agak dekat, tapi tak sedekat tiga yang lain. Mereka itu Tia, Firda, Dion dan plus satunya tadi adalah Arha. Tadi ada Arni, tapi dia sudah pulang duluan. Ada juga Roni, yang pulangnya sekitar lima belas menit setelah Arni pergi dari sana. Jadilah mereka berlima bercengkerama ria. Sesekali dengan tawa dan guyonan yang tipis-tipis serius.
Seliung obrolan tadi berubah 180 derajat. Adalah hal yang paling dibenci Tari saat tawanya mulai mengendur. Sayup-sayup menjadi ekspresi yang tak kentara di mata Tia, Firda, dan Dion. Adalah obrolan ketika menyinggung masalah hobi dan cinta matinya. Yaitu, menulis.
Dia memang suka menulis. Apa saja dia tulis. Sastra tentunya. Dia mengisi satu blog yang dikerjakan sebuah tim. Dia juga punya akun penulis yang karya-karyanya nimbrung di sana. Karya-karyanya pun menjamur di sudut hardisknya. Tapi dia terlalu benci jika hal yang dibicarakan ini bukanlah dirinya sekarang. Melainkan orang lain, yang selalu ia cemburui, yang selalu ia rasai orang itu selalu ada dua langkah di depannya. Ialah cowok yang baru saja pulang dari mereka, Roni. Ya, yang mereka bahas adalah Roni.
"Gue baca blognya Roni. Keren banget ya cerpen-cerpennya," tukas Arha, yang setekuk menghentikan tawa Tari yang tadi terulas. Dia diam, dan hatinya serasa dikoyak pisau. Panas pula dadanya. Karena setelah kalimat ini, ketiga sahabatnya menimpali dengan semangatnya.
"Iya! Bener, bener! Elo udah baca yang judulnya, ehm..." Firda menyebut sebuah judul. Begitu pula Tia, begitu pula Dion. Alhasil hanya Tari yang diam. Merunduk, menelan senyumnya lamat-lamat, dan hanya datar saja di wajah itu ia tinggalkan. Belum, ia tak paham bagaimana harus bersikap murung di hadapan sahabat-sahabatnya. Dia tak mengerti bagaimana caranya membuat ketiga orang yang cukup disayanginya itu mengerti, bahwa ia tak suka obrolan ini. Ia tak suka saat ia hanya harus diam. Mendengar orang-orang berharga dalam hidupnya mengelu-elukan orang lain. Memahami orang lain daripada dirinya sendiri. Sungguh ia tak suka! Sialnya ia tak bisa meluapkannya. Bodoh benar rasanya!
Hingga obrolan itu selesai, jantungnya berdegup kencang. Dengan rasa dongkol dan malu luar biasa, bibirnya nyeplos, "Gue juga nulis blog lo, Ha. Blog cerpen juga," ujarnya. Setamat-tamanya ucapannya, hanya dijawab, "Oh, ya?" dan ketiga yang lainnya pun tak setertarik tadi untuk membahas punyanya.
Tari dongkol lagi. Dia menunduk, dan sahabat-sahabatnya masih belum paham. Tari sendiri mengerti, dia memang terlalu bodoh jika tak mengatakannya secara langsung. Hanya saja, ia selalu merasa kalah. Bodohnya ia selalu merasa tertinggal. "Gue ada dua langkah di belakang Roni. Mau sebanyak apapun gue kejer, gue tetep aja ketinggalan!" rutuknya benci pada dirinya sendiri.
Inilah cemburu. Tari mengakui hal itu. Dia sangat cemburu. Cemburu saat sahabat-sahabatnya terlalu suka pada orang lain. Terlalu paham akan orang lain. Masih ingat ia kata-kata Tia, "Gue pasti jadi pembaca setia elo, kok." Itu semua bullshit! Ia tak pernah melihat Tia mampir sepintas ke blognya. Meluangkan waktu membaca karyanya. Dia hanya kesal. Dia menangis sendiri. Hanya hal sepele seperti ini. Sayangnya, dia tak bisa membenci sahabatnya. Hanya cemburu yang melahapnya tamak-tamak. Dia hanya membatu. Usia dewasa awal ini memberinya rasa cemburu yang lebih-lebih dan lebih selalu. Soal perlakuan Dion padanya yang rasanya beda dari yang lain juga ia cemburu. Ia merasa Dion tak adil memperlakukannya seolah beda dari Tia dan Firda. Ia merasa didiskrimanis. Hingga pikiran jahatnya, yang mengatakan, "Mungkin aja adanya elo itu cuma buat pemanis!" selalu menggantung di atap-atap otaknya. Dia jahat memang. Dia sendiri merasa dirinya terlalu munafik di hadapan mereka bertiga.
Tapi bagaimana lagi? Cemburu ini merengguknya dalam. Dalam dan sungguh menyebalkan!
~To Be Continued~
No comments:
Post a Comment