V
Dion Bangke!
Tari makan siang sendirian. Bukan di kantin, tapi di pojokkan sekretariat himanya. Diintipnya ke luar pintu. Tepatnya ke arah kantin warna pink tempat biasa nongkrong dia dan teman segengnya. Dia tak di sana, tapi sahabat-sahabatnya ada di sana semua. Tentu dengan Dion, plus Roni dan Juli. Ia mendengus sendirian, melihat tawa dan canda yang terbentuk di mereka. Salahnya juga sih tak mau gabung langsung ke sana. Tapi, untuk apa? Toh, dia akan terabaikan juga nanti di sana.
Beberapa adik tingkatnya yang masuk mengobati cemburunya. Ia bisa tertawa dan sejenak melupakan kalau orang-orang itu bersenang-senang tanpa dirinya. Apa-apa saja ia lakukan. Huh! Lama banget sih di kantin doang! rutuknya, kalah dengan cemburunya sendiri. Padahal sudah susah payah menahannya dengan menyibukkan diri.
Kira-kira satu jam mereka ada di sana. Baru mereka balik. Ia melirik ke Dion yang masuk paling terakhir. Rencananya hari ini rapat. Makannya banyak pengurus yang datang. Ada satu tempat yang masih kosong, yaitu tepat di samping Tari. Tari menduga-duga, apa mungkin Dion akan duduk di sampingnya? Meskipun Dion sudah melihat satu tempat kosong itu. Dan setelah celingukan beberapa kali, terbuktilah perkiraan Tari. Dion memilih keluar, ketimbang duduk di sampingnya. Kenapa?! Kenapa?! Tari merutuk sebal.
Sampai rapat selesai, ia belum kembali juga. Kemana sih tu, anak? Ia mulai gusar. Dion mulai lagi! Mulai lagi! Padahal setelah rapat ini kan mereka ada latihan. Apa Tari harus mendatangkan Tata biar dia mau latihan? Huh! Entahlah! Tari akhirnya siap-siap sendiri.
"Eh, L! Tika tuh, udah nungguin elo dari tadi, tau," Firda mengingatkan Tari. Tari melongok keluar. Mobil merah sudah terpakir di pinggir jalan. Sekali lagi ia celingukan, tak ada tanda-tanda Dion. Bodo amat, deh! Rutuknya lagi.
"Gue berangkat, ya," pamitnya pada siapapun yang mau dipamiti. Ia tak mendengar siapa yang menjawab pamitannya barusan.
"Sorry, sorry! Lama, ya?" ujar Tari begitu sampai. Lita yang duduk di samping Tika hanya tersenyum. Berucap, "Oke-oke!" Barulah Tari membuka pintu belakang. Dan begitu pintu terbuka, ternyata Dion sudah ada di sana. Kepalanya tak menghadap ke Tari sedikit pun. Apa dia tidur? Entahlah. Tari tak bisa bertanya pada siapapun. Ia harus masuk, dan harus sudi duduk di sebelah Dion.
Selama perjalanan, Tari hanya diam. Memilih menikmati rintik-rintik hujan yang menghiasi pemandangan di luar. Beberapa kali Dion terlibat pembicaraan dengan mereka berdua. Sering pula tertawa. Ah! Tari tak peduli. Dia yang biasanya paling cerewet malah seperti orang sakit. "Kedinginan tah elo, L?" tanya Lita, heran dengan diamnya Tari. Tari hanya menggeleng lemah. Ia tak tahu, Dion sempat melirik dan menyetujui pendapat Lita. Tak biasanya kan Tari sediam ini.
"Nah, ya. Tata sama siapa?" tanya Dion. Huh! Tata lagi! Tata lagi! tanpa sadar hati Tari mengutuk. Entahlah, kenapa juga Tari harus kesal? Hah! Rasanya ia hampir gila menelan semua rasa cemburu itu banyak-banyak di dada. Andaikan bisa, dia ingin bersikap wajar saja saat Dion mengkhawatirkan orang lain. Tapi bagaimana caranya, Tari sendiri tak tahu.
"Tata udah duluan katanya," jawab Lita yang langsung dijawab dengan anggukan kepala.
Baru seperempat jalan, Lita dan Tika permisi keluar. Membeli beberapa makanan dan minuman. Mati! Tari berduaan saja dengan Dion di mobil. Mana Lita dan Tika lamanya amit-amit, deh. Tak ada percakapan secuil pun. Dion diam, dengan kepalanya yang ia alihkan ke kiri. Melihat apa saja yang ada di luar. Karena merasa tak berguna, Tari mengambil ponselnya. Memainkan satu-satunya game yang membuatnya kesal setengah mampus. Pasalnya sebanyak apapun ia memainkan game itu, ia tak pernah menang. Itu lebih baiklah, daripada harus diam menikmati kekakuan bocah yang ada di sampingnya itu.
Lima belas menit, baru Lita dan Tika masuk ke mobil. Dengan sebagian obrolan yang pasti dilanjut dari minimarket itu. Tika kembali melajukan mobilnya. Kini mereka ditemani dengan musik. Kecuali Tari yang memilih bungkam sampai tempat tujuan.
Sampai di sana, Tata sudah menunggu. Hanya menunggu beberapa menit, sampai mereka memilih latihan seperti biasa. Tari pun sama saja, mencoba mencuri perhatian Dion dengan menanyainya beberapa gerakan. Tapi tetap saja. Yang namanya batu, tetap saja keras. Habislah Tari dengan segala kekakuan Dion padanya. Yah... nasib... nasib... pasrah Tari.
Sekitar pukul 5 sore, latihan mereka selesai. Saatnya evaluasi dari pelatih mereka. Semuanya bersuara, kecuali Dion. Dia diam sekali. Entahlah. Wajahnya sejak tadi tak enak, itu pendapat pribadi Tari sih. Selebihnya, Tari tak tahu. Inginnya abai saja, tapi yah... tetap saja tak bisa.
Selesai evaluasi, Dion ganti baju duluan. Saat itulah Tata menyikut lengan Tari. "Elo kenapa kemaren sih, L? Nangis tiba-tiba gitu," tanyanya.
"Ah, udah kemaren juga. Enggak papa, kok. Enggak papa," jawab Tari berbohong. Mana mungkin kan dia tidak apa-apa.
"Tahu enggak? Dion nanyain elo tahu. Makannya dia langsung semangat gitu latihannya," tambah Tata yang membuat Tari mendelik tak percaya. Hah?! Dion?! Nanyain gue? Dia ngeliat gue nangis berarti? Jadi, bukan gara-gara Tata dia mau latihan? Tapi gara-gara gue?! decak batinnya tak percaya. Hingga Dion yang baru saja keluar dari ruang ganti, ditatapinya sampai bocah itu jengah sendiri.
"Apaan, sih?!" sentaknya risih. Mendengar sentakan itu, Tari menelan ludahnya. Mana mungkin gara-gara dia Dion semangat latihan? Melihatnya menangis, memang apa pengaruhnya untuk Dion? Apalagi sepulang dari sana, tiap Tari bertanya sesuatu, Dion selalu menjawabnya sambil buang muka. Mustahil! Mustahil Dion mengkhawatirkannya.
"Dasar Dion bangke!" umpatnya keras-keras. Tapi sayang, hanya dalam hati saja.
~To Be Continued~